Tortor dgn iringan Gondang Bolon dan Tortor dgn iringan Uning-2an adalah bagai 2 sisi mata uang yg berbeda. Tortor dgn iringan Gondang Bolon, gerak dasarnya dan ragam geraknya sudah baku. Sudah ada pakemnya. Harus diperhatikan betul cara mangurdotnya. Cara marsombanya, sikap tubuhnya, cara pandangan matanya. Semua harus hohom, tenang, dan tertib. Sikapnya harus hormat dan santun. Karna Tortor yg sebenarnya adalah Ungkapan Doa kpd Tuhan Raja Semesta Alam (Ompu Mula Jadi Nabolon). Dahulu utk upacara ritual atau penyembahan. Sebagaimana seseorang sedang berdoa, dia harus khusuk dan hikmat. Tiap gerakan punya arti dan filosofinya sendiri.
Lain halnyaTortor dgn iringan Uning-2 an, lbh kepada seni pertunjukan dan didasari keindahan, geraknya lbh bebas dan santai, ragamnya lbh bnyk dan boleh dikreasikan. Juga kostum dan assesorisnya sdh berwarna warni sesuai tema pertunjukan dan permintaan. Tortor ini lebih bnyk temanya, ada Tortor Siburuk yg menggambarkan seekor burung di Tanah Batak, ada Tortor Hatasopisik yg menggambarkan tortor pergaulan muda-mudi, ada Tortor Monsat yaitu sprt pencak silat. Sekarang sdh bnyk yg mengembangkan Tortor Tandok dan Tortor Ulos. Dan msh lbh bnyk lagi.
Ada satu nomor tortor yg sdh dikenal dr jaman dahulu yaitu Tumba atau Martumba seperti syair lagu Tumba do karya Nahum Situmorang "Aha ma da meam-2 ni da halak kita na tinggal di huta da. Adong do sada meam-2 molo poltak bulan martumba do. Tumba do di pasar malam marumba do. Urdot ni tumba tung asing do tahe. Ingkon marhutur daging i sude. gonting na pe ingkon dauk gale. Doge doge tarsongoni do hape." Tumba amat sangat berbeda dgn Tortor. Ulosnya diikat dipinggang. Dan ujung ulosnya dijepit dijari-2 partumba. Biasanya yg martumba adalah gadis-2 remaja atau ibu-2. Sampai sekarang, diwaktu peringatan 17 agustus, anak-2 sekolah SD di kampung merayakannya dgn martumba. Mereka membuat lingkaran besar. Ulos diikat dipinggang. 1 orang berdiri ditengah sambil bernyanyi. Tumba lebih kepada gerak dan lagu.
Jadi martumba biasanya sambil bernyanyi. Artikel "Jannes Tobing" thn 1992 tentang Tumba, Asal muasal Tumba adalah dari pahae. Kalau asal muasal 'kata Tortor' adalh dari bunyi hentakan kaki di atas papan ruma batak . Tapi asal muasal 'kata Tumba' dari pukulan Alu dalam Lesung padi. Tema martumba juga bermacam-2. Ada Tumba pada perayaan panen, perayaan 17 agustus, bersuka cita di waktu terang bulan, dan di waktu martandang para pria pada sekumpulan gadis yg sedang menumbuk padi, dll.
Menurut buku tentang Tortor dan Tumba, karangan M.Hutasoit, terbit 21 Desember 1976, Tarutung. "Ciri gerak dasar Tumba adalah menepuk kedua belah tangan di depan dada sambil salah satu kakinya melompat ke kanan dan kekiri. kemudian menepuk pinggulnya. Ada juga gerakan melompat lompat tanda suka cita. Gerakan marembas mutlak ada di tumba". Ada juga yg membuat seperti dolanan anak-2 di tanah Jawa. Yaitu seperti ular naga panjangnya. Di kampung lbh dikenal dgn jembatan tapauli. Jadi dlm martuma hrs ada kegembiraan. Tdk hohom. Tdk ada unsur spiritual dan penyembahan. Terpancar sukacita digerakan dan wajahnya.
Oleh karna itu dalam membuat Lomba Tortor atau Festival Tortor, baik di gereja-2 atau di punguan marga, jika ada nomor tortor dgn Gondang Bolon dan Uning-2an sekaligus, alangkah baik dan bijaksananya jika kriteria penilaian dibedakan. Begitu juga kategori, nominasi dan pemenangnya juga harus dibedakan. Seperti halnya pada lomba-2 lainnya. Kriteria penilaian serta kategori lagu Dangdut tdk bisa disamakan atau digabung dgn Jazz, Rok atau Seriosa. Festival film juga begitu, nominasi film dokumenter, layar lebar, komedi, dll semua dipilah-2. Dan ada pemenangnya masing-2.
Jika dalam satu lomba Tortor, digabung antara Tortor dgn iringan Gondang Bolon yg sarat dgn Hahomion dengan Tumba yg iringannya uning-2an, yg jelas-2 utk marlasniroha. Satu team tdk akan mungkin memenuhi keduanya. Pasti salah satu nomor tari ada yg kurang memenuhi persyaratan. Ketika satu kontingen lbh menitik beratkan pada Tortor yg asli dgn kostum yg sarat dgn habatahon dr segi warna dan model. Pasti ketika dia menampilkan nomor Tumba, penampilannya tdk mungkin memenuhi persyaratan yg marlasniroha tadi. Wajahnya, gerakannya, kostumnya, pola lantainya akan terkesan kaku krn tdk dinamis. Sebaliknya, jika salah satu kontingen lebih menitik beratkan pada yg seni pertunjukan, dgn kostum yg brigth, gerakan yg ceria, senyum yg sumringah, pola lantai dan gerak yg sangat beragam dan kreatif. Ketika mereka menampilkan nomor Tortor dgn iringan Gondang bolon, pasti penampilan mereka terkesan lebay. Tdk serius. Habatahonnya tdk terdukung oleh kostum dan penampilan mereka.
Oleh karnanya ada baiknya utk semua halak kita yg sangat peduli dgn pelestarian budaya batak khususnya Tortor,tolong perhatikan hal-2 yg sdh dijelaskan di atas. Thn 1978 penulis sdh mulai belajar Tortor dr Ompung AWK Samosir(alm),senior SERINDO dan Dosen Tortor di IKJ. Thn 1987 sdh buka Sanggar Tortor yg profesional. 28 thn lbh malang melintang di dunia Tortor, sering menghadapi dilema ini. Baik ketika sedang menjadi peserta lomba, atau ketika sedang menjadi pelatih lomba Tortor. Begitu juga ketika sedang menjadi Juri. Sang pemenang tergantung juri yg menilai dari arah mana melihatnya. Dari satu sisi atau sisi yg lain.
Pernah terjadi ketika menjadi juri di lomba Tortor angka Ina di salah satu HKBP di Jakarta 31 Juli 2015 lalu. Tortor wajibnya sama, mula-2 dan somba-2. Dgn iringan Gondang Bolon. Tortor pilihannya dgn iringan Uning-2 an. Bisa pilih salah satu nomor Tortor: Tumba, Hatasopisik, Tandok, Ulos, Siburuk, atau kreasi dr beberapa Tortor. Sebagai juri waktu itu mengalami dilema ketika hendak menentukan pemenangnya.
Ada satu peserta, di nomor Tortor Mula-2 dan Somba-2, benar-2 memukau. Tp di nomorTumba, dia monoton dan kaku. Tp ada satu peserta lg, yg Mula-2 dan Somba-2 nya biasa saja. Tp di penampilan Tumba, luar biasa kreatifnya. Pola lantainya. Lincahnya. Sukacitanya pas skl. Penulis lbh memilih yg Mula-2 dan Somba-2 nya lbh bagus. Tp 2 juri lg memilih yg Tumbanya lbh bagus. Dgn alasan sdh ompung-2 tp msh kuat martumba, hrs kita hargai. Jadinya kalah suara. Ketika diumumkan pemenangnya,yaitu yg Tumbanya lbh bagus, terlihat raut-2 wajah yg tdk terima. Walau satu gereja, pendeta dan panitya, kami sependapat. Tapi keputusan juri tdk bs diganggu gugat. Kemudian penulis yg kala itu sbg juri langsung menjelaskan scr rinci, knp dan bagaimna. Lalu menghampiri mereka, dan menyalam satu persatu juga pelatihnya smbl memuji penampilannya yg luar biasa. Baru suasana mencair dan sukacita lagi.
Tahun 1999, ada pengalaman lain lagi. Waktu itu melatih di salah satu kontingen dr HKBP Jakasampurna Bekasi. Mengikuti lomba Tortor di Hotel Sahid Jaya Hotel. Lomba Tortor angka Ina sedistrik Jakarta dan sekitarnya. Ada lbh dari 10 kontingen yg ikut ambil bagian. Semuanya menampilkan Tortor dgn iringan Gondang Bolon. Ada yg memilih Liat-2, ada yg pilih Sampur marorot, Monang-2, Sibunga jambu, Situan gading habonaran, dll. Peserta terakhir menampilkan Hatasopisik dgn iringan uning-2 an. Dgn gerakan yg super modern. Malah hampir tdk ada mangurdot dan sombanya. Melihat penampilan mereka saja, sdh kaget. Loh...ini bukannya lomba tortor yg asli atau pakem ya? Dgn iringan gondang bolon? Yg lbh kaget lagi mereka menyabet juara 1. ????......
Kembali terlihat raut-2 wajah yg tdk puas. Serta mendengar dumelan ibu-2 serta ompung-2 para peserta. Ingin rasanya tampil ke panggung dan menjelaskan apa itu Tortor. Atau datang ke panitya utk minta penjelasan, lomba apa ini? Tapi Keputusan Juri tdk bs diganggu gugat. Sampai saat ini ternyata dilemma msh sering muncul diperlombaan Tortor. Akan kah ini terus terjadi ???..... (Oleh: Ida Pangaribuan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar